Oleh : Herman Rakha*
Desa Lendang Nangka merupakan bagian dari Kecamatan masbagik, Kabupaten Lombok Timur. Jumlah penduduk desa ini menurut data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (DUKCAPIL) Kabupaten Lombok Timur pada 2021 mencapai 11.027 jiwa, yang terdiri dari 5.499 jiwa laki-laki dan 5.528 perempuan. Jumlah penduduk yang besar ini tentunya membutuhkan tata kelola sampah yang baik dan tepat agar tidak terjadi penumpukan timbulan sampah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang ada di Desa Lendang Nangka yang akan berdampak terhadap kebersihan lingkungan.
“Sampah yang masuk ke tempat pengelolaan sampah di Desa Lendang Nangka sekitar 4 kuintal per hari atau dalam sebulan dapat mencapai 10 ton sampai dengan 12 ton”, ungkap Miq Suprat penanggungjawab TPS 3R Desa Lendang Nangka. Kami melakukan proses pengumpulan serta pemilahan sampah mulai pukul 07.30 wita – pukul 16.00 wita dengan menggunakan 4 kendaran roda tiga, sambungnya.
Keberadaan TPS 3R Desa Lendang Nangka dengan aktivitas pengelolaan sampahnya hingga saat ini tidak terlepas dari kepedulian Lalu Supratman terhadap permasalahan sampah di desanya. Hal ini disebabkan karena belum maksimalnya kesadaran masyarakat terkait dengan dampak negatif dari perilaku membuang sampah sembarangan, terutama bagi kesehatan dan kebersihan lingkungan.
“Generasi yang berkualitas setidaknya dipengaruhi oleh lingkungan yang sehat” ungkap Lalu Supratman menceritakan alasan kuat yang mendorong kepeduliannya terhadap penanganan sampah di desanya. Sosok pria 56 tahun ini memandang bahwa lingkungan dan makhluk hidup memiliki hubungan timbalik balik dan akan berlangsung terus menerus. Untuk itu beliau menggunakan istilah “sedekah sampah” untuk menggugah kesadaran masyarakat. Istilah ini merujuk pada mekanisme iuran yaitu dengan segelas beras yang dibayarkan setiap bulannya kepada petugas kebersihan yang melakukan pengumpulan sampah pada setiap rumah warga.
Istilah ini dimaksudkan agar masyarakat tidak merasa terbebani oleh penyebutan kata iuran. Sehingga melalui istilah sedekah sampah, masyarakat dengan sukarela mengumpulkan sampahnya di depan rumah atau depan gang pinggir jalan untuk kemudian diangkut ke tempat pengelolaan sampah. Seiring dengan bertambahnya kesadaran masyarakat maka, saat ini iuran segelas beras dihanti dalam bentuk uang yaitu Rp.5000 untuk setiap rumah per bulannya. Sebagian besar sampah yang dikelola oleh Lalu Supratman melalui TPS 3R Desa Lendang Nangka adalah berupa sampah organik yang bersumber dari sampah rumah tangga serta limbah hasil pertanian.
Beternak Maggot Untuk Mengurangi Sampah Organik
Sampah organik memang masih tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Kabupaten Lombok Timur. Berdasarkan data yang bersumber dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Lombok Timur, pada tahun 2021 terjadi kenaikan volume sampah yang masuk ke TPA Ijobalit, yaitu dari 51.315 ton pada tahun 2020, meningkat menjadi 55.115 ton pada tahun 2021. Dari total sampah tersebut, 64,19% atau 35.378 ton merupakan sampah yang bersumber dari rumah tangga. Kecamatan Masbagik dimana Desa lendang Nangka termasuk didalamnya menempati posisi teratas sebagai penyumbang sampah terbesar di Kabupaten Lombok Timur, yaitu mencapai 40,86 ton per hari pada tahun 2021.
Desa Lendang Nangka sebagai tempat domisili Lalu Supratman merupakan salah satu daerah sentra pertanian di Kabupaten Lombok Timur, khususnya komoditi pertanian hortikultura. Komoditi hortikultura yang banyak diusahakan adalah Tomat, Cabai, Nanas, dan lain-lainnya. Namun, permasalahannya adalah ketika harga beberapa komoditi hortikultura harganya turun maka, para petani lebih memiliih untuk membiarkan tanamannya membusuk di lahan. Hal inilah yang menarik perhatian dari Lalu Supratman, sehingga beliau berinisiatif memanfaatkan limbah-limbah pertanian untuk dikelola dan memberikan manfaat.
“Ketika harga Tomat rendah dimana ongkos panen lebih besar dibandingkan dengan harga jual maka, para petani lebih suka membiarkan tanamannya membusuk di lahan” sambung Miq Suprat memberikan contoh persoalan limbah pertanian di desanhya. Itulah kemudian yang menjadi sumber sampah baru di Desa Lendang Nangka selain dari sampah rumah tangga. Keberadaan dua Pondok Pesantren yang ada di desa kami dengan ribuan santrinya telah berdampak terhadap volume timbulan sampah organik yang harus kami tampung di TPS 3R, selain dari sampah rumah tangga se-Desa Lendang Nangka.
“Pada awalnya kami mengelola sampah organik sebatas pada pembuatan pupuk bokasi dan pupuk takakura. Namun, seiring dengan bertambahnya volume sampah organik di desa kami yang bersumber dari sampah rumah tangga dan sampah hasil pertanian maka, saat ini pengolahan sampah organik kami lakukan melalui cara beternak maggot”, ungkap Miq Suprat.
Maggot adalah larva serangga Black Soldier Flies atau BSF yang dapat mengubah material organik menjadi biomassanya. Lalat ini berbeda dari jenis lalat biasa, karena larva yang dihasilkan bukan larva yang menjadi medium penyakit. Siklus hidup maggot terjadi selama 40 hari. Dari sejak berbentuk telur lalat, maggot membutuhkan sampah organik untuk tumbuh selama 25 hari hingga siap dipanen. Maggot memiliki kemampuan mengurai sampah organik 1-3 kali dari bobot tubuhnya selama 24 jam, bahkan bisa sampai 5 kali bobot tubuhnya. Satu kilogram maggot bisa memangkas 2-5 kilogram sampah organik setiap harinya. Jumlah ini bisa membantu pengurangan sampah organik di Jakarta secara signifikan. Maggot yang telah menjadi bangkai lalat BSF dapat digunakan sebagai pakan ternak karena proteinnya yang sangat tinggi yakni hingga 40-50%.
“Rumah maggot yang ada saat ini merupakan hibah bantuan dari pemerintah. Namun, sebelumnya kami melakukannya secara mandiri di tempat kami sendiri. Tahap awal kami mendatangkan 70 gram telur maggot dari luar daerah. Setelah melalui proses selama 15 hari, maggot yang dihasilkan di tempat kami mencapai 1,4 kuintal yang kami jual kepada pengepul yang ada di desa kami seharga Rp.7000 per kilogram, dan saat ini kami juga sudah mampu menghasilkan telur maggot”.
Atas dasar itulah, rumah maggot yang masuk dalam pengelolaan TPS 3R Desa Lendang Nangka memperoleh apresiasi dari pemerintah, yaitu berupa hibah bantuan untuk pengembangan rumah maggot sebesar Rp.450 juta pada pertengahan tahun 2021. Selain itu, dari dalam sebulan TPS 3R di bawah Lalu Supratman sebagai penanggungjawab dapat mengurangi sekitar 5 ton sampah organik dalam sebulan atau sekitar 167 kg sampah organik dalam sehari.
Kolaborasi Dalam Penanganan Sampah
Untuk melakukan penanganan tentang sampah tentunya harus dilakukan kerjasama multi pihak agar hasil yang diharapkan dapat maksimal. sPemerintah Kabupaten Lombok Timur telah menyikapi mengenai penanganan permasalahan sampah ini, yaitu melalui Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 46 Tahun 2018 tentang Pengurangan, Penanganan dan Sistem Tanggap Darurat Sampah berharap bahwa penanganan sampah di daerah ini dapat dilakukan dengan lebih sistematis. Kebijakan ini mensyaratkan setiap tempat pembuangan sampah sementara yang ada di desa dilakukan dengan prinsip 3R (Reduce, Recycle, Reuse). Kebijakan ini sebenarnya juga memperkuat Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah.
Atas dasar kebijakan dari pemerintah daerah tersebut sekaligus dalam upaya penanganan sampah di Desa Lendang Nangka maka, Lalu Supratman juga telah melakukan berbagai upaya-upaya kolaboratif dengan berbagai pihak, salah satunya adalah kerjasama dengan Bank Sampah. Hal ini beliau lakukan karena didalam proses pemilahan sampah non-organik ditemukan berbagai jenis sampah non-organik seperti, plastik, gelas plastik, buku, kertas, kardus, alumunium, duplex, karung, banner, besi, kaleng, dan lain sebagainya.
Keterbatasan sumber daya manusia dalam mengolah sampah non-organik disiasati melalui mekanisme penjualan ke Bank Sampah mandiri yang ada di ibu kota Kabupaten Lombok Timur. Hasil dari penjualan sampah non-organik yang tidak mampu diolah digunakan sebagai kas TPS 3R sekaligus juga untuk membayar gaji para petugas pemilahan di lokasi TPS 3R Desa Lendang Nangka.
“Untuk kantong plastik kresek, kami menjualnya dengan harga Rp.700/kg, sedangkan untuk plastik bening yang model daunan itu lebih mahal lagi yaitu mencapai Rp.2500/kg. Untuk sampah non-organik jenis duplex dihargai Rp.800/kg, kemudian gelas plastik Rp.2500/kg, kaleng dan rongsokan harga jualnya mencapai Rp.1500/kg. Selanjutnya untuk besi harganya Rp.3500/kg, kardus Rp.3000/kg, alumunium Rp12.000/kg, tempurung kelapa yang banyak ditemukan di desa kami itu harganya mencapai Rp30.000/karung. Bahkan untuk rambut manusia yang agak panjangpun, kami juga dapat menukarnya dengan sabun di Bank Sampah Mandiri tersebut” jelas Miq Suprat ketika kami menanyakan harga penjualan sampah non-organik yang dikelola oleh TPS 3R.
Selain itu, bentuk kolaborasi dan kerjasama yang dilakukan oleh TPS 3R Desa Lendang Nangka tidak hanya sebatas pada aspek penjualan sampah non-organik yang tidak dapat diolah namun, pada aspek pemilahan sampah dari sumbernya juga dilakukan. Kerjasama ini dilakukan antara lain dengan Pondok Pesantren Thohir Yasin dan Pondok Pesantren Khalimatusadiyah, kemudian dari pihak puskesmas dan klinik-klinik kesehatan yang ada di Desa Lendang Nangka, dan beberapa ritel modern yang sudah mulai bermunculan di Desa Lendang Nangka.
“Tidak semua sampah dapat kami manfaatkan, untuk itu residu atau sisa dari sampah yang tidak bisa diolah seperti kaca, pampers, asbes, batu, kerikil, tanah. Untuk itu, Pelibatan atau bentuk kerjasama dengan pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Lombok Timur dilakukan dalam bentuk bantuan pengangkutan dari residu-residu sampah tersebut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Ijobalit yang dilakukan setiap bulan karena keterbatasan sarana yang kami miliki”, terang Miq Suprat menjelaskan kerjasama dengan pihak pemerintah daerah.
“Kami berharap sampah yang kami kelola sebelumnya sudah melalui proses pemilahan di sumbernya atau dilakukan oleh masyarakat. Hal ini karena keterbatasan sumber daya yang ada di TPS 3R, kemudian untuk pemerintah kami juga berharap bantuan kendaraan operasional yang lebih memadai karena kendaraan operasional saat ini kondisinya sudah “sakit-sakitan” yang pada akhirnya akan menyedot anggaran untuk membiayai perbaikan” harap Lalu Supratman mengakhiri obrolan ringan pada hari itu.
- Peneliti pada Lombok Research Center (LRC)