Jurnal LRC

KONSEP DASAR FEMINISME
MARXIS DAN RELEVANSINYA JIKA
DITERAPKAN DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Tulisan ini membahas konsep dasar feminisme Marxis dan relevansinya dalam konteks sosial-ekonomi Kabupaten Lombok Timur. Feminisme Marxis menyoroti keterkaitan antara kapitalisme, patriarki, dan penindasan terhadap perempuan, dengan menekankan bahwa ketidaksetaraan gender bukan sekadar akibat norma budaya, melainkan juga bagian dari struktur ekonomi yang eksploitatif. Dalam kerangka ini, perempuan dipandang mengalami penindasan ganda—baik sebagai pekerja domestik tidak dibayar maupun sebagai buruh murah dalam sistem kapitalisme global. Melalui analisis terhadap fenomena tenaga kerja wanita (TKW), perkawinan anak, dan rendahnya akses pendidikan perempuan di Lombok Timur, tulisan ini menunjukkan bahwa sistem patriarki lokal dan kapitalisme global saling memperkuat dalam mengekalkan subordinasi perempuan. Perempuan Lombok Timur berperan besar dalam menopang ekonomi melalui remitansi dan kerja informal, tetapi kontribusi mereka jarang diakui secara struktural. Kajian ini menegaskan bahwa penerapan feminisme Marxis di Lombok Timur relevan untuk memahami akar penindasan yang bersifat kelas dan gender, serta untuk merumuskan strategi perubahan sosial yang bersifat kolektif dan transformatif. Melalui pendidikan kritis, pengorganisasian perempuan pekerja, dan kebijakan publik yang berpihak pada keadilan ekonomi dan gender, feminisme Marxis dapat menjadi dasar bagi perjuangan menuju masyarakat yang lebih setara dan bebas dari eksploitasi.

Kata Kunci: feminisme Marxis, patriarki, kapitalisme, Lombok Timur, keadilan gender.

STANDAR JENDER
NORMATIF DAN EKSISTENSI MANUSIA

Tulisan ini membahas bagaimana standar jender normatif terbentuk, direproduksi, dan berdampak terhadap eksistensi manusia. Standar jender normatif dipahami sebagai seperangkat aturan sosial dan kultural yang menentukan perilaku ideal berdasarkan jenis kelamin, di mana laki-laki diasosiasikan dengan rasionalitas, kekuatan, dan kepemimpinan, sementara perempuan diidentikkan dengan kelembutan, emosionalitas, dan peran domestik. Melalui analisis teoretis dan empiris, tulisan ini menunjukkan bahwa konstruksi tersebut lahir dari sistem patriarki serta direproduksi oleh institusi keluarga, pendidikan, media, dan agama. Meskipun dianggap menjaga keteraturan sosial, norma ini justru bertransformasi menjadi mekanisme pengekangan yang menghambat kebebasan individu dan meniadakan eksistensi manusia sebagai subjek bebas. Kajian ini menggunakan perspektif feminisme, posstrukturalisme, dan queer theory untuk menelaah bagaimana kekuasaan, wacana, dan performativitas membentuk identitas jender. Contoh-contoh dari konteks Indonesia dan global memperlihatkan bahwa standar jender normatif menimbulkan diskriminasi struktural, kekerasan simbolik, serta marginalisasi terhadap perempuan dan kelompok non-biner. Kesimpulan utama penelitian ini menegaskan bahwa pembongkaran norma jender normatif menjadi langkah penting untuk mewujudkan kebebasan eksistensial manusia. Pendidikan kritis, representasi media yang inklusif, serta kebijakan publik yang adil diperlukan agar setiap individu dapat hidup autentik sesuai jati dirinya.

Kata Kunci: jender normatif, eksistensi manusia, patriarki, feminisme, queer theory.

DINAMIKA SUHU UDARA DAN SUHU TANAH PADA PERUBAHAN IKLIM SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKTIVITAS TANAMAN

Tulisan ini membahas dinamika suhu udara dan suhu tanah dalam konteks perubahan iklim global serta dampaknya terhadap produktivitas tanaman. Peningkatan suhu udara rata-rata global sebesar 1,1–1,2 °C sejak era pra-industri telah memengaruhi proses fisiologis tanaman, keseimbangan air, dan siklus karbon di ekosistem pertanian. Suhu udara yang tinggi menyebabkan penurunan fotosintesis, peningkatan transpirasi, dan stres panas pada tanaman, sehingga menurunkan hasil panen. Sementara itu, kenaikan suhu tanah berpengaruh terhadap respirasi tanah, aktivitas mikroorganisme, serta ketersediaan nutrisi yang menentukan pertumbuhan akar dan produktivitas tanaman. Interaksi antara suhu udara dan suhu tanah menciptakan umpan balik terhadap perubahan iklim melalui peningkatan emisi CO₂ dan N₂O dari tanah. Kajian literatur menunjukkan bahwa strategi adaptasi diperlukan, seperti penggunaan mulsa organik, sistem agroforestri, varietas tahan panas, serta pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk memprediksi suhu udara dan tanah secara real-time. Dengan pendekatan ilmiah dan teknologi presisi, dampak negatif perubahan suhu terhadap pertanian dapat diminimalkan. Dalam tulisan ini juga menegaskan pentingnya integrasi antara ilmu iklim, fisiologi tanaman, dan teknologi digital untuk mendukung ketahanan pangan berkelanjutan di era perubahan iklim.

Kata Kunci: suhu udara, suhu tanah, perubahan iklim, produktivitas tanaman, adaptasi.

KONSTRIBUSI UNSUR ABIOTIK, BIOTIK DAN CULTURE
TERHADAP KEHIDUPAN LINGKUNGAN DAN HUBUNGANNYA
DENGAN PENCIPTA (SAINTIFIK, TEOLOGI DAN FILSAFAT)

Tulisan ini membahas keterkaitan antara unsur abiotik, biotik, dan budaya (culture) dalam menjaga keseimbangan lingkungan serta hubungannya dengan Sang Pencipta melalui pendekatan saintifik, teologis, dan filosofis. Unsur abiotik seperti tanah, air, udara, dan cahaya menjadi fondasi bagi kehidupan biotik yang meliputi tumbuhan, hewan, dan manusia. Sementara itu, unsur budaya mengatur perilaku manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam melalui nilai, norma, dan kearifan lokal. Ketiga unsur ini membentuk sistem ekologis yang saling bergantung dan menentukan keberlanjutan kehidupan. Dari perspektif saintifik, hubungan antarunsur tersebut menjelaskan mekanisme siklus energi dan materi yang menjaga keseimbangan ekosistem. Perspektif teologi menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi yang memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk menjaga alam sebagai amanah dari Tuhan. Sedangkan dalam filsafat, alam dipandang memiliki nilai intrinsik yang harus dihormati, bukan sekadar instrumen ekonomi. Melalui integrasi ketiga perspektif ini, tulisan ini menegaskan bahwa pembangunan yang berkelanjutan hanya dapat terwujud bila sains, nilai religius, dan refleksi filosofis berjalan selaras. Pendekatan ini diharapkan menjadi dasar kebijakan lingkungan yang berkeadilan, beretika, dan berorientasi pada keberlanjutan hidup seluruh makhluk.

Kata Kunci: abiotik, biotik, budaya, teologi, filsafat, lingkungan.

Paradoks Peringatan Hari Anak: Antara Seremoni dan Komitmen
Perlindungan dari Kekerasan dan Pemenuhan Hak Anak

Tulisan ini mengulas paradoks antara kemeriahan seremoni peringatan Hari Anak Nasional (HAN) dengan kenyataan pahit yang masih dihadapi anak-anak di Indonesia, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Meskipun setiap tahun dirayakan dengan berbagai kegiatan simbolik—seperti lomba, pidato, dan kampanye media sosial—peringatan tersebut sering kali kehilangan makna substansial karena minimnya komitmen nyata terhadap pemenuhan hak dan perlindungan anak. Data menunjukkan bahwa kasus kekerasan, stunting, pekerja anak, dan pernikahan dini di NTB masih tinggi. Hal ini menandakan lemahnya implementasi kebijakan dan rendahnya kesadaran kolektif terhadap isu anak. Tulisan ini menegaskan perlunya transformasi peringatan HAN dari seremoni menuju aksi konkret melalui penguatan kebijakan, pemerataan pendidikan, peningkatan layanan kesehatan anak, pemberdayaan komunitas lokal, dan perubahan paradigma perayaan. Hanya dengan komitmen yang berkelanjutan dan berbasis tindakan nyata, Hari Anak dapat menjadi momentum reflektif menuju masa depan yang lebih baik bagi anak-anak Indonesia.

Kata Kunci: Hari Anak Nasional; NTB; perlindungan anak; kekerasan terhadap anak; pekerja anak; stunting; komitmen kebijakan; seremoni; hak anak; kebijakan publik.

Problematika Pekerja Migran di NTB dan Analisis Upaya Pencegahan

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu daerah dengan proporsi pekerja migran Indonesia (PMI) yang signifikan, baik karena kesempatan ekonomi maupun keterbatasan lapangan kerja lokal. Studi ini mengkaji problem-utama yang dihadapi pekerja migran NTB — seperti rekrutmen informal, beban biaya tinggi, risiko eksploitasi dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) — serta hambatan dalam sistem perlindungan dan pencegahan. Analisis menunjukkan bahwa faktor-penyebab mencakup rendahnya literasi calon pekerja migran, lemahnya pengawasan oleh lembaga terkait, minimnya jalur legal yang terjangkau, dan kurangnya kolaborasi antar-stakeholder. Dalam konteks respon, artikel ini mengeksplorasi upaya pencegahan yang sudah maupun yang perlu diperkuat, seperti edukasi dan pelatihan pra-keberangkatan, penguatan regulasi dan lembaga pengawas, serta mekanisme pengaduan dan perlindungan di negara tujuan. Penekanan diberikan bahwa penanganan bukan hanya soal aspek ekonomi, tetapi juga integrasi hak pekerja migran sebagai bagian dari pembangunan daerah yang inklusif. Rekomendasi strategis mencakup peningkatan akses jalur legal biaya rendah, peningkatan kapasitas koordinasi antar-instansi, serta pemantauan keberangkatan dan keberadaan pekerja migran secara berkelanjutan agar potensi migrasi tidak menimbulkan kerentanan sosial dan ekonomi di tingkat keluarga dan komunitas.

Kata Kunci: Pekerja Migran Indonesia (PMI), Nusa Tenggara Barat (NTB), Rekrutmen & Jalur Legal, Perlindungan & Pencegahan, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)

Pembangunan Pertanian : Dimana Harus Memulainya ?

Dalam artikel ini dibahas tantangan dan titik awal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan sektor pertanian di Indonesia, khususnya di daerah seperti Nusa Tenggara Barat (NTB). Penulis menegaskan bahwa modernisasi pertanian bukan semata penerapan teknologi, melainkan harus dimulai dengan memperkuat fondasi dasar—meliputi keberadaan lahan yang produktif, penyediaan infrastruktur irigasi, penguasaan benih/varietas unggul, penyuluhan yang efektif, serta regenerasi petani muda. Dokumen menunjukkan bahwa tanpa penguatan sektor dasar ini, upaya menciptakan pertanian skala besar atau “lumbung pangan dunia 2045” akan sulit tercapai. Selanjutnya, artikel mengajak para pemangku kebijakan daerah dan nasional untuk memprioritaskan “pertanian dasar” sebagai start-point pembangunan, sebelum melangkah ke skala besar atau kompleksitas hilirisasi.

Kata Kunci: Pembangunan Pertanian, Modernisasi Pertanian, Pertanian Dasar, Lumbung Pangan Dunia 2045, Nusa Tenggara Barat (NTB)

BUMD Lombok Timur : Antara Kontribusi PAD Dan Beban APBD

Dalam kerangka otonomi daerah, BUMD seharusnya menjadi instrumen fiskal yang mampu meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Namun, penelitian menunjukkan bahwa kontribusi rata-rata BUMD terhadap PAD Kabupaten Lombok Timur hanya sekitar 1,96 % pada periode 2015-2019. Hal ini mengindikasikan bahwa sejumlah BUMD belum berjalan secara efisien atau maksimal dalam menghasilkan laba dan dividen, dan dalam banyak kasus justru membutuhkan penyertaan modal dari APBD, sehingga menimbulkan beban bagi anggaran daerah. Faktor-penyebabnya antara lain adalah manajemen yang belum profesional, sumber daya manusia yang belum memadai, likuiditas dan solvabilitas yang lemah, serta kurangnya orientasi bisnis yang adaptif terhadap peluang ekonomi lokal seperti pariwisata dan pertanian. Artikel merekomendasikan bahwa untuk memperbaiki kondisi tersebut diperlukan pembenahan manajemen BUMD, peningkatan kompetensi human capital, orientasi strategis terhadap keunggulan daerah (sektor pertanian & wisata), serta penerapan pengukuran kinerja yang jelas.

Kata Kunci: Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Anggaran Pendapatan & Belanja Daerah (APBD), Kabupaten Lombok Timur, Kinerja Keuangan Daerah

Jalan Panjang Konflik Agraria Di NTB : Konflik Pertanahan Di Sembalun

Konflik agraria terus terjadi di Indonesia walaupun telah ada program reforma agraria seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), antara 2017 – 2020 terdapat sejumlah kasus sengketa pertanahan yang melibatkan penguasaan tanah, pemilikan, penetapan hak, dan pendaftaran lahan. Artikel ini menyoroti konflik pertanahan di Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, yang telah berlangsung panjang antara masyarakat lokal dan perusahaan PT Sembalun Kusuma Emas (SKE). Pada tahap pertama konflik dimulai sejak konsesi HGU diberikan kepada SKE sejak 1988 atas lahan ulayat masyarakat. Pada tahap selanjutnya, muncul kembali konflik ketika izin HGU baru dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada Maret 2021 seluas 150 hektar dan memantik penolakan dari warga. Pembahasan mencakup aspek historis, kerangka hukum hak guna usaha (HGU), dinamika vertikal antara perusahaan, negara dan masyarakat adat, hingga hambatan penyelesaian konflik melalui mekanisme lembaga pemerintah seperti Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Meskipun telah dibentuk GTRA Provinsi, konflik ini belum menemukan penyelesaian yang memuaskan karena posisi pihak bersengketa tetap kukuh mempertahankan klaimnya masing-masing. Dengan demikian, artikel ini menyimpulkan bahwa penyelesaian konflik agraria membutuhkan penghentian sementara aktivitas di lahan yang disengketakan, renegosiasi ulang antara masyarakat dan perusahaan, serta penundaan penerbitan izin baru sebagai langkah meredam konflik dan mempromosikan keadilan dalam penguasaan lahan.

Kata Kunci: Konflik Agraria, Pertanahan, Hak Guna Usaha (HGU), Sembalun, Lombok Timur, Reforma Agraria

Kondisi AKI Dan AKB DI Kabupaten Lombok Tengah Pada Masa Pandemi Covid-19

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) telah lama mengembangkan sektor pariwisata sebagai pilar ekonomi sejak era 1970-an, namun upaya percepatan dan ekspansi kawasan wisata tidak selalu diiringi oleh penanganan yang memadai terhadap persoalan agraria yang muncul. Artikel ini mengkaji konflik agraria yang terjadi di kawasan pariwisata NTB — seperti sengketa hak atas tanah, alih fungsi lahan, mafia pertanahan, dan pengabaian terhadap hak adat — serta bagaimana pengembangan pariwisata mempercepat dinamika konflik tersebut. Beberapa pekerjaannya mencakup dimensi hukum (undang-undang pertanahan dan agraria), praktik di lapangan (kasus konflik di Gili Trawangan dan Sembalun), dan peran pemerintah dalam penyelesaian melalui mekanisme seperti gugus tugas reforma agraria (GTRA). Hasil pembahasan menunjukkan bahwa meskipun terdapat kebijakan percepatan investasi dan pengembangan pariwisata, terdapat ketimpangan dalam penguasaan dan pemanfaatan lahan yang mengancam keadilan sosial dan keberlanjutan pariwisata. Artikel ini merekomendasikan peningkatan koordinasi antar-instansi, pelibatan masyarakat lokal dalam proses pembangunan, dan penguatan mekanisme inventarisasi dan penyelesaian konflik agraria sebagai bagian integral dari pembangunan pariwisata yang inklusif.

Kata Kunci: Konflik Agraria, Kawasan Pariwisata, Nusa Tenggara Barat (NTB), Penguasaan Lahan & Alih Fungsi, Reforma Agraria

Kondisi AKI Dan AKB DI Kabupaten Lombok Tengah Pada Masa Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 telah membawa dampak serius terhadap sistem kesehatan masyarakat, termasuk risiko peningkatan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Studi ini mengeksplorasi kondisi AKI dan AKB di Kabupaten Lombok Tengah selama masa pandemi, mengidentifikasi faktor-penyebab, dinamika pelayanan kesehatan, serta upaya penanganan yang telah dilakukan. Dengan menggunakan data sekunder dari instansi kesehatan dan analisis kualitatif terhadap layanan kesehatan ibu-anak, ditemukan bahwa pandemi membatasi akses ke fasilitas kesehatan, mengganggu pemantauan kehamilan dan neonatus, serta memperlemah sistem rujukan yang efektif. Hasil menunjukkan bahwa penurunan kunjungan antenatal, keterlambatan rujukan, serta kekurangan tenaga kesehatan berkontribusi terhadap stagnasi atau bahkan kenaikan AKI/AKB di kabupaten tersebut. Studi ini menyoroti pentingnya strategi adaptif dalam layanan kesehatan ibu-anak selama krisis, seperti telekonsultasi, mobilisasi kader lokal, dan penguatan akses transportasi rujukan. Rekomendasi untuk pemangku kebijakan mencakup penguatan layanan dasar di masa darurat, pengintegrasian teknologi komunikasi, dan peningkatan ketahanan sistem kesehatan ibu-anak untuk masa depan.

Kata Kunci: Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), Pandemi Covid-19, Layanan Kesehatan Ibu dan Anak, Kabupaten Lombok Tengah

STUNTING : ANTARA DEFINISI, ANGKA, DAN DERAJAT PEREMPUAN

Isu stunting sering kali dipandang hanya sebagai persoalan angka—persentase balita yang gagal tumbuh sesuai standar tinggi-untuk-usia—namun studi ini menunjukkan bahwa stunting juga harus dibaca sebagai indikator kompleks yang terhubung dengan derajat perempuan dan dinamika gender dalam keluarga serta masyarakat. Artikel ini mengkaji bagaimana definisi stunting (sebagai “tinggi badan menurut usia di bawah -2 standar deviasi”), beserta pelacakan angka prevalensi nasional dan daerah, berinteraksi dengan kondisi sosial-kultural di mana perempuan (ibu rumah tangga, calon pengantin muda, ibu hamil dan menyusui) memiliki peran sentral dalam determinan gizi dan pertumbuhan anak. Ditemukan bahwa ketidaksetaraan gender, beban ganda perempuan, hubungan kekuasaan dalam rumah tangga, dan akses terbatas terhadap layanan kesehatan dan gizi menjadi variabel penting dalam memahami stunting. Dengan demikian, penanganan stunting bukan hanya menurunkan angka prevalensi, tetapi juga memperhatikan pemberdayaan perempuan, pendidikan gizi dan pengasuhan, dan kesetaraan perempuan-laki-laki dalam pengasuhan. Artikel merekomendasikan agar kebijakan percepatan penurunan stunting mengadopsi pendekatan responsif gender dan memperkuat posisi perempuan sebagai aktor kunci dalam sistem ketahanan gizi keluarga dan masyarakat.

Kata Kunci: Stunting, Definisi dan Angka (Prevalensi), Derajat Perempuan, Kesetaraan Gender, Pengasuhan dan Gizi Keluarga